Jumat, 20 April 2012

Harta Gono Gini,Mencari Formula Yang Adil Bagi Perempuan




Harta Gono Gini, Mencari Formula Yang Adil Bagi Perempuan  

Sabtu, 21 April 2012, 08.00.
   
Lebih Dekat dengan Harta Gono Gini
Pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan istri karena perkawinan.1   Harta istri tetap menjadi milik istri dan sebaliknya. Namun, sejak terjadi perkawinan antara perempuan dan laki-laki, maka sejak saat itu tidak menutup kemungkinan telah terjadi suatu percampuran antara kekayaan suami dan kekayaan istri (alghele gemeenschap van goederen). Percampuran ini terjadi jika tidak diadakan perjanjian pemisahan harta bawaan  masing-masing.  Keadaan  ini  berlangsung seterusnya dan tak dapat diubah lagi selama perkawinan. Kecuali ada kesepakatan baru antara suami istri. Percam- puran kekayaan ini lebih dikenal dengan harta bersama— bahasa hukum—atau harta gono gini—pandangan atau istilah masyarakat.

Jika  mengacu  pada  Undang-Undang  Nomor  1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI), kita akan menjumpai tiga macam harta benda dalam perkawinan, yakni: harta bersama, harta bawaan, dan harta perolehan. Menurut pasal 35 ayat 1 UUP No.1/74 dan pasal 85 KHI yang dimaksud harta bersama  adalah  harta  benda  yang  diperoleh  selama perkawinan.2   Maksudnya yakni, seluruh harta yang diperoleh sesudah suami istri berada dalam hubungan perkawinan, atas usaha mereka berdua atau usaha salah seorang dari mereka. Harta bersama dikuasai oleh suami dan istri, sehingga suami maupun istri memiliki hak dan kewajiban yang sama untuk memperlakukan harta mereka dengan persetujuan kedua belah pihak.3

Jadi, sekalipun harta bersama ini diperoleh dari kerja suami saja, bukan berarti istri tidak memiliki hak atas harta bersama.
Baik istri maupun suami sama-sama memiliki hak dan kewajiban yang sama. Suami atau istri tanpa persetujuan pihak lain tidak diperbolehkan menjual  atau  memindahkan  harta  bersama.4   Harta bersama ini dapat berupa benda berwujud, benda tidak berwujud (hak dan kewajiban), benda bergerak, benda tidak bergerak, dan surat-surat berharga.5

Sedangkan  yang  tidak  termasuk  harta  bersama yakni harta bawaan dan harta perolehan. Yang dimaksud harta bawaan adalah harta masing-masing suami dan istri6 yang  dimiliki  oleh  masing-masing  sebelum terjadinya perkawinan, termasuk yang diperoleh sebagai hadiah atau warisan. Harta ini di bawah penguasaan masing-masing atau menjadi hak milik yang tidak dapat dipindahtangankan.

Dan terakhir, harta perolehan, yakni harta masing- masing suami istri yang dimilikinya sesudah mereka berada  dalam  hubungan  perkawinan.  Harta  ini diperoleh  bukan  dari  usaha  mereka,  melainkan  dari hibah,  wasiat,  sedekah,  atau  warisan  masing-masing. Penguasaan atas harta ini sama seperti harta bawaan. Dikecualikan  jika  ada  kesepakatan dalam  perjanjian perkawinan  misalnya : suami  istri  menjadikan  harta perolehan ini sebagai harta bersama.7

Percampuran kekayaan adalah mengenai seluruh activa dan passiva. Percampuran ini bisa mencakup harta bawaan dan/atau harta perolehan ke dalam perkawinan8 yang  akhirnya  menjadi  harta  bersama.  Kekayaan bersama itu oleh undang-undang dinamakan “gemeen- schap.”

Sesungguhnya  percampuran  kekayaan  ini bukanlah masalah selama menjadi kesepakatan antara suami istri. Biasanya sengketa harta bersama ini akan timbul jika terjadi perselisihan antara suami istri atau perceraian. Terlebih bila tidak ada perjanjian pemisahan harta dalam perkawinan.
Kadangkala, masing-masing pihak  mengklaim  atas  harta  bersama  menjadi  harta bawaan atau harta perolehan. Atau, pihak istri dirugikan dan mengalami ‘’ketidakadilan’’ dalam pembagian harta bersama berdasarkan putusan pengadilan. Inilah cikal bakal terjadinya perselisihan harta bersama atau harta gono gini.

Ketidakadilan ini sangat terkait dengan perspektif suami kepala keluarga dan istri ibu rumah tangga. Yang dibakukan dalam UUP 1/1974 pasal 31 ayat 3 dan KHI pasal 79 ayat 1. Kedua hukum ini sekaligus mempo- sisikan  istri  hanya  sebatas  pengelola  rumah  tangga (domestik) sebaik-baiknya. Sehingga, banyak istri yang secara ekonomi sangat bergantung pada suami dan tidak memiliki penghasilan apa pun.

Ketidakadilan lainnya yang sering terjadi adalah beban ganda. Hal ini terjadi pada saat istri bekerja di luar  rumah  sebagai  pencari  nafkah,  bahkan  pencari nafkah  utama,  juga  dibebani  pekerjaan  domestik. Biasanya  para  suami  menarik  diri  untuk  membantu pekerjaan rumah tangga karena menganggapnya sebagai kewajiban mutlak istri. Padahal pekerjaan rumah tangga adalah tanggung jawab bersama yang bisa dibagi dan dipertukarkan  karena  hal  itu  merupakan  bentukan budaya belaka.

Dengan begitu, merupakan hal yang tidak adil bagi istri, jika aturan pembagian harta hanya sebatas separuh dari harta bersama. Karena tidak sedikit istri yang berkontribusi lebih besar dari suami. Dan, yang lebih tidak adil adalah jika istri mendapat harta lebih kecil dari suami bahkan tidak mendapatkan sama sekali karena  dianggap  tidak  memiliki  kontribusi  apa  pun dalam mengumpulkan harta bersama.


Koleksi perpustakaan kami mulai buku Teks,  Kitab kuning, Skripsi, Tesis, Disertasi, Foto, Kliping, CD-ROM, CD, VCD dan DVD.
Alamat : Jl. Raya Merembu Barat Kec. Labuapi Lobar NTB.

Kirim email ke ahmad_raehan@yahoo.com atau telp. ke 0817368859. kita kongsi Ilmu sebagai orang akademisi.



Artikel Lepas (Fenomena Aktifis Mahasisa)


FENOMENA AKTIFIS MAHASISWA
(Antara Peluang dan Tantangan Memasuki Kehidupan Moderenisasi)

H.AKHMAD EFFENDI, SH, MH
PD III BIDANG KEMAHASISWAAN FAK. SYARI’AH
IAIN MATARAM

Dari Jalan Baypas ke jalan infas
            Secara historis kontribusi mahasiswa dalam pembangunan telah diakui oleh beberapa pihak, baik konstribusi berupa materiil maupun mental sprituil. Lebih-lebih dalam konteks sejarah ke Indonesiaan, mahasiswa sebagai katalisator dalam kegiatan pembangunan bangsa. Namun demikian, peran dan keterlibatan mereka dari tahun ke tahun selalu menunjukkan adanya perubahan-perubahan atau strategi yang selalu menyisakanproblem. Perubahan itu terlihat dari visi dan misi gerakan mereka, yang pada awalnya memiliki landasan paradigmatika universal, obyrktif dan  makro yang bergeser ke paradigma parsial, subyektif dan mikro. Dengan kata lain, gerkannya berpijak dari nalar Baypas ke nalar inpas.
            Perubahan sosial akademis dikalangan mahasiswa belakangan ini, dirasakan oleh banyak kalangan telah mmbawa dampak signifikan bagi masyarakat secara umum.Diantara dampak tersebut antara lain adalah unculnya tradisi berpikir yang sangat kritis-tendensius dan anti kemapanan di satu pihak, di pihak lain lahir sikap apatis kepada masyarakat, tidak punya pendirian yang kokoh, mudah terpengaruh oleh lingkungan, tidak memiliki perencanaan yang mateng, kurang berpikir jangka panjang, hilangnya etos keilmuan yang ditandai dengan ndahnya minat baca, berdiskusi dan menulis. Selain itu, prilaku kehidupannya cendrung erotis, hedonis, materialis dan konsumeris.
            Halaqah-halaqah akademis yang dulu banyak diminati oleh para aktifis, kini telah berubah menjadi bersenda gurai demi memenuhi tuntutan biologis. Dulu mahasiswa lulus dari almamaternya hampir dapat dipastikan setidaknya mereka menjadi tokoh dan panutan dipercaya dan dimuliakan oleh masyarakatnya. Namun kini yang terjadi adalah sebaliknya, tidak sedikit dari jumlah lulusan sarjana yang justru menjadi problem dan beban bagi masyarakat sekitarnya, karena fungsinya sebagai subyek telah berubah menjadi obyek.
Aktifis Kontribusinya bagi Masyarakat
            Di era 80-an, masyarakat selalu memandang fositif kepada mahasiswa. Masyarakat menilai mereka sebagai pelaku sejarah yang aktif dan positif. Indikasi ini dapat kita lihat misalnya, hampir seluruh peristiwa penting kebangsaan, mereka senantiasa tampil sebagai pelopornya. Secara umum masyarakat mengakui bahwa mahasiswa adalah sekelompok manusia yang memiliki mental dan fisik yang kokoh, memiliki jiwa kepemimpinan, dedikasi dan ke-aktoran, memiliki tanggungjawab yang kokoh dan disiplin yang tinggi.
            Dengan demikian dapat dikatakan bahwa secara normatif, hakekat mahasiswa adalah satu dari sekian unsur pemuda yang memiliki kecerdasan intlektualitas, sepiritualitas dan emosionalitas. Mereka merupakan bagian yang tak terpisahkan dari masyarakat secara umum. Sebagai generasi bangsa yang tergolong masyarakat terdidik, diantara mereka tidak sedikit yang berhasil menjadi pemimpin-pemimpin negara maupun masyarakat, hingga sukses lebih-lebih mahasiswa yang lahir dari rahim institusi Islam, karena merekalah yang memegang peranan penting dalam aspek pembangunan manusia seutuhnya.
            Mereka tidak hanya diharapkan cerdas dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, lebih dari itu perangkat-perangkat yang substansial sifatnya juga menjadi aspek yang tak kalah pentingnya untuk direspon. Kemampuan untuk memanaj organisasi misalnya, kemampuan mengantisipasi persoalan-persoalan ke depan, kemampuan mengendalikan diri, dan kemampuan memberikan motivasi kepada orang lain.
Tantangan Para Aktifis Mahasiswa.
            Sebagai seorang aktifis yang akrab dijuluki mahasiswa yangnkritis karena keilmuannya dan adaptif  karena sikap sosialnya, betapapun mereka setidaknya mempertahankan identitas itu. Sekalipun disana sini banyak aktifis yang telah mencoreng identitasnya sendiri. Dengan demikian, apakah kiranya saluran yang aspiratif sekaligus produktif bagi sosial intrest mahasiswa di tengah perubahan sosial saat ini? Menampung tanggapan mahasiswa kepada badan  perwakilan rakyat kita adalah sangat relvan kaitannya dengan saluran yang aspiratif itu. Sementara bagi saluran yang produktif tentu dengan mengarahkan mahasiswa untuk sadar  melakukan pengembangan-pengembangan pada wilayah keilmuan, dalam hal ini adalah aktif melakukan kajian-kajian dan peran-peran penelitin.
            Dengan dua upaya penampungan sekaligus penyaluran tersebut, disatu pihak aspek aktifitas perpolitikan mahasiswa dapat teraspirasi secara baik  dan sehat dalam konteks makro, dipihak lain pengembangan nalar kritis dibidang ilmu pengetahuan juga berkembang secara produktif. Dua hal diatas sama-sama penting dengan sam-sama memberikan dampak manfaat secara langsung terhadap masyarakat.
            Penyaluran melalui perwakilan rakyat dimaksudkan agar gagasan-gagasan segar para maha siswa masih sangat parsial dan bersifat personal dapat mengkristal menjadi gagasan-gagasan yang merepresentasi kelembagaan dan keumatan.. Dengan catatan tidak mengganggu stabilitas nasional secara umum. Dari sini telah terlihat jelas bahwa eksistensi mahasiswa sebenarnya berfungsi ganda, yaitu individu dan sosial. Mahasiswa tidak saja aktif studi menghadapi buku-buku teks  tanapa melihat konteks atau makna dibalik teks itu sendiri. Meskipun yang demikian tersebut juga merupakan tugas pokok mahasiswa yang tidak bisa dielakkan.
            Atas dasar inilah mengapa aktifis harus lain dari pada yang lain, artinya mereka secara empiris harus memiliki kualifikasi keilmuan yang mantap dan kecerdasan emosional yang kuat. Pertama, kualifikasi keilmuan, disamping sebagai simbul yang mencirikan mahasiswa, ia juga berperan untuk mengetahui perkembangan-perkembangan keilmuan secara makro yang berpengaruh pada masyarakat secara langsung. Kedua, kecerdasan emosional, yang berpungsi untuk menghadapi dan menentukan sikap, baik sikap sosial, politik, ekonomi maupun sikap-sikap yang lainnya. Kesemuanya membutuhkan pertimbangan-pertimbangan dan keputusan dari kecerdasan emosional.
Mahasiswa: Memasuki Peluang dan Tantangan Modernisasi.
            Ditengah perubahan sosial seperti sekarang ini, disadari atau tidak mahasiswa telah hadir sebagai sub elite bagi masyarkat. Dengan begitu, mereka telah dituntut untuk menjadi bagian penting yang tak terpisahkan ari proses modernisasi ini (egent of modernization ). Langkah pertama mereka menjadi bagian modernisasi ini adalah dengan memunculkan kesdaran yang mendalam bahwa bangsa kita masih banyak mengalami keterbelakangan di berbagai lini kehidupan.
            Modernisasi berarti adanya perubahan menuju ke arah yang lebih baik dan maju. Kenyataan di lapangan, ternyata melakukan perubahan dalam suatu masyarakat tidaklah mudah. Langkah yang terlebih dahulu harus dilakukan adalah memahami sistem sosial budaya secara mendalam. Agaknya terdengar sangat pradoks memang, ketika modernisasi harus mengacu kepada tradisi bangsa lain yang kokoh, yang merupakan sumber motivasi dari setiap langkah suatu tampa dukungasa, sebut saja misalnya, dalam konteks yang sama adalah jepang. Jepang adalah suatu contoh klasik dari modernisasi yang berhasil dengan menggunakan tradisi Shinto yang amat kokoh itu.
            Maka, peranan mahasiswa sebagai modernisator ini tentu memerlukan leteratur sejarah yang kuat. Sebab tidaklah dianggap benar bahwa modernisasi adalah import  teknilogi belaka. Karena bangteknologi yang di import  tampa dukungan sosial yang serasi dan sinergis akan menjadi barang ringsokan yang tampa arti. Oleh sebab itu pembinaan akan akan dukungan sosial inilah salah satulangkah strategis yang dapat diperankan oleh mahasiswa ditengah masyarakat yang relatif masih belum maju.
            Dari uraian diatas, secara spesifik muncul pertanyaan yang cukup mndasar dari kalangan mahasiswa itu sendiri, pertanyaan itu adalah menyangkut role image sebagai apakah mahasiswa membayangkan dirinya ditengah-tengah kehidupan modern ini ? Secara definitif mahasiswa memang terlalu subyektif untuk ditakrifkan. , aTetapi dalam garis besarnya, mereka selalu dibayangi oleh dua kemungkinan yang tidak lepas dari diri mereka sendiri. Pertama. Image sebagai calon intlektual (ilmuan), dan Kedua, Image sebagai calon profesional. Bagi perguruan tinggi yang berbasis religius tentu saja harus ditambah, yaitu sebagai calon agamawan yang spiritualis. Implikasi dari image ini, dalam realitasnya sangat berbeda penerapannya. Image sebagai calon intlektual umumnya banyak dianut oleh para mahasiswa yang lahir dari rahim ilmu-ilmu sosial serta keagamaan yang kegiatannya bermuara pada konsepsi-konsepsi baru. Kecendrungan aktifitas dari image pertama ini adalah dibidang mass media, Literatur maupun organisasi.
 Idealisme dalam Ragam Perspektif.
            Selain tiga role di  atas, yaitu image intlektualisme, profesionalisme dan spiritualisme, ada image lain yang selalu menjadi kebanggaan mereka sebagai seorang mahasiswa, yaitu edialisme. Mereka tidak disebut sebagai aktifis yang sebenarnya ketika mereka tidak memiliki edialisme yang tinggi. Disinilah letak persoalannya bahwa edialisme terlanjur dipahami salah kaprah oleh para aktifis. Idealisme, lagi-lagi semngatnya selalu dikembalikan pada tahun 60-an yang muaranya selalu berjuang pada protes keras mahasiswa kepaa pemerintah Orde Lama. Mereka menjadi oposan mutlak trhadap pemerintah dalam kondisi dan situasi apapun.
            Pemahaman seperti inilah yang lebih dominan dikalangan mahasiswa belakangan ini, skitar 97-an ke atas. Para aktifis yang tidak memiliki tipologi idealisme seperti yang digambarkan di atas, dianggap kehilangan identitasnya. Padahal idealisme dalam perkembangannya akan bersinegi dengan role image yang berbeda-beda. Dengan demikian idealisme juga akan menampakkan karakternya yang berbeda sesuai dengan perkembangan situasinya.
            Memang benar, pada tahun 60-an idealisme mahasiswa dimaknai sebagai sikap yang bersemangat dan berani secara fisik untuk melakukan protes terhadap pemerintah Orla. Hal itu terjadi karena memang kondisinya sangat memungkinkan dan lebih efektif, karena tidak saja dikalangan mahasiswa yang memandang pemerintah Orla buruk, melainkan keadaan masyarakat secara makro juga memandang hal yang sama. Meskipun mahasiswa yang berada di garda depan dalam melopori gerakan protes ini, namun masyarakatlah sebenarnya yang mendorong mereka dan yang memiliki keinginan perubahan itu sendiri.
            Sementara kadaan selalu berubah dan menuntut pendekatan lain dalam elakukan berbagai kegiatan. Pemahaman yang berbeda di atas tentu akan menggeser perubahan idealisme sebagaimana yang sementara ini dipahami oleh pelbagaikalangan aktifis. Atas dasar pemahaman baru ini, idealisme mahasiswa menjadi lebih longgar (subjektif) tafsir dan maknanya. Dalam konteks kemoderenan ini, mahasiswa yang tekun membaca dibeberapa perpustakaan Universitas misalnya, mereka tidak lagi dijuluki sebagai mahasiswa yang telah kehilangan idealisme. Karena idealisme mahasiswa berpulang pada role image yang berbeda-beda.
            Sebaliknya, ketika idealisme mahasiswa dipahami sebagai sikap protes atau sikap oposan, mutlaknya adalah kekeliruan konsepsional yang amat besar, karena protes seperti iti tanpa ada kondisi masyarakat yang mendorong serta yang berkepentingan, tentu hal ini tidak akan mendapatkan respon apapun. Apalagi sebagai peranan unsur modernisasi, sikap protes atau bersikap  oposan tidak akan pernah mencapai sasaran yang mendasar. Dari sini menjadi jelas bahwa ketika image mahasiswa yang aktif dan dinamis itu adalah mahasisa yang berani melancarkan berbagai protes dan melakukan aksi demontrasi pada hakekatnya pandangan yang seperti itu telah dipengaruhi oleh gejolak negara Barat pada tahun 60-an.(*)

Kamis, 19 April 2012

Cahaya Ketenanganku

Pedomanku !!!!!!!!!!!!!!
Berikan kasih sayangmu niscaya kamu akan dikasihi dan ihlaskan ma'afmu nescaya
 akan diberikan ampunan ( Riwayat Imam Ahmad) Wallahu'aklam..........

Salam kasih sayang dari lubuk hati yang dalam kepada sahabat yang berkenan
mengunjungi blogs   ahmadraehan.blogspots.com
apa yang ada dalam tulisan/artikel ini
adalah hasil karya sendiri, bila berkenan boleh di covi n paste masukkan nama
blogs ini agar sahabat yang lain dapat mengenal wujud blogs yang serba kurang
ini, tolong dilanjutkan blogs ini kita sama-sama berkongsi ilmu dan berbagi
 pengalaman dan yang baik datang dari Allah dan yang kurang itu adalah datang
dari kelemahan saya sendiri.....AR.R