FENOMENA AKTIFIS MAHASISWA
(Antara Peluang dan Tantangan Memasuki
Kehidupan Moderenisasi)
H.AKHMAD EFFENDI, SH, MH
PD III BIDANG KEMAHASISWAAN FAK. SYARI’AH
IAIN MATARAM
Dari Jalan Baypas ke jalan infas
Secara historis kontribusi mahasiswa dalam
pembangunan telah diakui oleh beberapa pihak, baik konstribusi berupa materiil
maupun mental sprituil. Lebih-lebih dalam konteks sejarah ke Indonesiaan,
mahasiswa sebagai katalisator dalam kegiatan pembangunan bangsa. Namun
demikian, peran dan keterlibatan mereka dari tahun ke tahun selalu menunjukkan
adanya perubahan-perubahan atau strategi yang selalu menyisakanproblem.
Perubahan itu terlihat dari visi dan misi gerakan mereka, yang pada awalnya
memiliki landasan paradigmatika universal, obyrktif dan makro yang bergeser ke paradigma parsial,
subyektif dan mikro. Dengan
kata lain, gerkannya berpijak dari nalar Baypas ke nalar inpas.
Perubahan
sosial akademis dikalangan mahasiswa belakangan ini, dirasakan oleh banyak
kalangan telah mmbawa dampak signifikan bagi masyarakat secara umum.Diantara
dampak tersebut antara lain adalah unculnya tradisi berpikir yang sangat
kritis-tendensius dan anti kemapanan di satu pihak, di pihak lain lahir sikap
apatis kepada masyarakat, tidak punya pendirian yang kokoh, mudah terpengaruh
oleh lingkungan, tidak memiliki perencanaan yang mateng, kurang berpikir jangka
panjang, hilangnya etos keilmuan yang ditandai dengan ndahnya minat baca,
berdiskusi dan menulis. Selain itu, prilaku kehidupannya cendrung erotis,
hedonis, materialis dan konsumeris.
Halaqah-halaqah
akademis yang dulu banyak diminati oleh para aktifis, kini telah berubah
menjadi bersenda gurai demi memenuhi tuntutan biologis. Dulu mahasiswa lulus
dari almamaternya hampir dapat dipastikan setidaknya mereka menjadi tokoh dan panutan
dipercaya dan dimuliakan oleh masyarakatnya. Namun kini yang terjadi adalah
sebaliknya, tidak sedikit dari jumlah lulusan sarjana yang justru menjadi
problem dan beban bagi masyarakat sekitarnya, karena fungsinya sebagai subyek
telah berubah menjadi obyek.
Aktifis Kontribusinya bagi Masyarakat
Di era 80-an, masyarakat selalu memandang
fositif kepada mahasiswa. Masyarakat menilai mereka sebagai pelaku sejarah yang
aktif dan positif. Indikasi ini dapat kita lihat misalnya, hampir seluruh
peristiwa penting kebangsaan, mereka senantiasa tampil sebagai pelopornya.
Secara umum masyarakat mengakui bahwa mahasiswa adalah sekelompok manusia yang
memiliki mental dan fisik yang kokoh, memiliki jiwa kepemimpinan, dedikasi dan
ke-aktoran, memiliki tanggungjawab yang kokoh dan disiplin yang tinggi.
Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa secara normatif, hakekat mahasiswa adalah satu
dari sekian unsur pemuda yang memiliki kecerdasan intlektualitas,
sepiritualitas dan emosionalitas. Mereka merupakan bagian yang tak terpisahkan
dari masyarakat secara umum. Sebagai generasi bangsa yang tergolong masyarakat
terdidik, diantara mereka tidak sedikit yang berhasil menjadi pemimpin-pemimpin
negara maupun masyarakat, hingga sukses lebih-lebih mahasiswa yang lahir dari
rahim institusi Islam, karena merekalah yang memegang peranan penting dalam
aspek pembangunan manusia seutuhnya.
Mereka
tidak hanya diharapkan cerdas dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi,
lebih dari itu perangkat-perangkat yang substansial sifatnya juga menjadi aspek
yang tak kalah pentingnya untuk direspon. Kemampuan untuk memanaj organisasi
misalnya, kemampuan mengantisipasi persoalan-persoalan ke depan, kemampuan
mengendalikan diri, dan kemampuan memberikan motivasi kepada orang lain.
Tantangan Para Aktifis Mahasiswa.
Sebagai seorang aktifis yang akrab
dijuluki mahasiswa yangnkritis karena keilmuannya dan adaptif karena sikap sosialnya, betapapun mereka
setidaknya mempertahankan identitas itu. Sekalipun disana sini banyak aktifis
yang telah mencoreng identitasnya sendiri. Dengan demikian, apakah kiranya
saluran yang aspiratif sekaligus produktif bagi sosial intrest mahasiswa di
tengah perubahan sosial saat ini? Menampung tanggapan mahasiswa kepada
badan perwakilan rakyat kita adalah
sangat relvan kaitannya dengan saluran yang aspiratif itu. Sementara bagi
saluran yang produktif tentu dengan mengarahkan mahasiswa untuk sadar melakukan pengembangan-pengembangan pada
wilayah keilmuan, dalam hal ini adalah aktif melakukan kajian-kajian dan
peran-peran penelitin.
Dengan
dua upaya penampungan sekaligus penyaluran tersebut, disatu pihak aspek
aktifitas perpolitikan mahasiswa dapat teraspirasi secara baik dan sehat dalam konteks makro, dipihak lain
pengembangan nalar kritis dibidang ilmu pengetahuan juga berkembang secara
produktif. Dua hal diatas sama-sama penting dengan sam-sama memberikan dampak
manfaat secara langsung terhadap masyarakat.
Penyaluran
melalui perwakilan rakyat dimaksudkan agar gagasan-gagasan segar para maha
siswa masih sangat parsial dan bersifat personal dapat mengkristal menjadi
gagasan-gagasan yang merepresentasi kelembagaan dan keumatan.. Dengan catatan
tidak mengganggu stabilitas nasional secara umum. Dari sini telah terlihat
jelas bahwa eksistensi mahasiswa sebenarnya berfungsi ganda, yaitu individu dan
sosial. Mahasiswa tidak saja aktif studi menghadapi buku-buku teks tanapa melihat konteks atau makna dibalik
teks itu sendiri. Meskipun yang demikian tersebut juga merupakan tugas pokok
mahasiswa yang tidak bisa dielakkan.
Atas
dasar inilah mengapa aktifis harus lain dari pada yang lain, artinya mereka
secara empiris harus memiliki kualifikasi keilmuan yang mantap dan kecerdasan
emosional yang kuat. Pertama, kualifikasi keilmuan, disamping
sebagai simbul yang mencirikan mahasiswa, ia juga berperan untuk mengetahui
perkembangan-perkembangan keilmuan secara makro yang berpengaruh pada
masyarakat secara langsung. Kedua, kecerdasan emosional, yang
berpungsi untuk menghadapi dan menentukan sikap, baik sikap sosial, politik,
ekonomi maupun sikap-sikap yang lainnya. Kesemuanya membutuhkan
pertimbangan-pertimbangan dan keputusan dari kecerdasan emosional.
Mahasiswa: Memasuki Peluang dan Tantangan
Modernisasi.
Ditengah
perubahan sosial seperti sekarang ini, disadari atau tidak mahasiswa telah
hadir sebagai sub elite bagi masyarkat. Dengan begitu, mereka telah dituntut
untuk menjadi bagian penting yang tak terpisahkan ari proses modernisasi ini (egent
of modernization ). Langkah pertama mereka menjadi bagian
modernisasi ini adalah dengan memunculkan kesdaran yang mendalam bahwa bangsa
kita masih banyak mengalami keterbelakangan di berbagai lini kehidupan.
Modernisasi
berarti adanya perubahan menuju ke arah yang lebih baik dan maju. Kenyataan di
lapangan, ternyata melakukan perubahan dalam suatu masyarakat tidaklah mudah.
Langkah yang terlebih dahulu harus dilakukan adalah memahami sistem sosial
budaya secara mendalam. Agaknya terdengar sangat pradoks memang, ketika
modernisasi harus mengacu kepada tradisi bangsa lain yang kokoh, yang merupakan
sumber motivasi dari setiap langkah suatu tampa dukungasa, sebut saja misalnya,
dalam konteks yang sama adalah jepang. Jepang adalah suatu contoh klasik dari
modernisasi yang berhasil dengan menggunakan tradisi Shinto yang amat kokoh
itu.
Maka, peranan mahasiswa sebagai
modernisator ini tentu memerlukan leteratur sejarah yang kuat. Sebab tidaklah
dianggap benar bahwa modernisasi adalah import
teknilogi belaka. Karena bangteknologi yang di import tampa dukungan sosial yang serasi dan
sinergis akan menjadi barang ringsokan yang tampa arti. Oleh sebab itu
pembinaan akan akan dukungan sosial inilah salah satulangkah strategis yang
dapat diperankan oleh mahasiswa ditengah masyarakat yang relatif masih belum
maju.
Dari
uraian diatas, secara spesifik muncul pertanyaan yang cukup mndasar dari
kalangan mahasiswa itu sendiri, pertanyaan itu adalah menyangkut role
image sebagai apakah mahasiswa membayangkan dirinya ditengah-tengah
kehidupan modern ini ? Secara definitif mahasiswa memang terlalu subyektif
untuk ditakrifkan. , aTetapi dalam garis besarnya, mereka selalu dibayangi oleh
dua kemungkinan yang tidak lepas dari diri mereka sendiri. Pertama.
Image sebagai calon intlektual (ilmuan), dan Kedua, Image
sebagai calon profesional. Bagi perguruan tinggi yang berbasis religius tentu
saja harus ditambah, yaitu sebagai calon agamawan yang spiritualis. Implikasi
dari image ini, dalam realitasnya sangat berbeda penerapannya. Image
sebagai calon intlektual umumnya banyak dianut oleh para mahasiswa yang lahir
dari rahim ilmu-ilmu sosial serta keagamaan yang kegiatannya bermuara pada
konsepsi-konsepsi baru. Kecendrungan aktifitas dari image pertama ini adalah
dibidang mass media, Literatur maupun organisasi.
Idealisme dalam Ragam Perspektif.
Selain tiga role di atas, yaitu image intlektualisme,
profesionalisme dan spiritualisme, ada image lain yang selalu menjadi
kebanggaan mereka sebagai seorang mahasiswa, yaitu edialisme. Mereka tidak
disebut sebagai aktifis yang sebenarnya ketika mereka tidak memiliki edialisme
yang tinggi. Disinilah letak persoalannya bahwa edialisme terlanjur dipahami
salah kaprah oleh para aktifis. Idealisme, lagi-lagi semngatnya selalu
dikembalikan pada tahun 60-an yang muaranya selalu berjuang pada protes keras
mahasiswa kepaa pemerintah Orde Lama. Mereka menjadi oposan mutlak trhadap
pemerintah dalam kondisi dan situasi apapun.
Pemahaman
seperti inilah yang lebih dominan dikalangan mahasiswa belakangan ini, skitar
97-an ke atas. Para aktifis yang tidak memiliki tipologi idealisme seperti yang
digambarkan di atas, dianggap kehilangan identitasnya. Padahal idealisme dalam
perkembangannya akan bersinegi dengan role image yang berbeda-beda.
Dengan demikian idealisme juga akan menampakkan karakternya yang berbeda sesuai
dengan perkembangan situasinya.
Memang
benar, pada tahun 60-an idealisme mahasiswa dimaknai sebagai sikap yang
bersemangat dan berani secara fisik untuk melakukan protes terhadap pemerintah
Orla. Hal itu terjadi karena memang kondisinya sangat memungkinkan dan lebih
efektif, karena tidak saja dikalangan mahasiswa yang memandang pemerintah Orla
buruk, melainkan keadaan masyarakat secara makro juga memandang hal yang sama.
Meskipun mahasiswa yang berada di garda depan dalam melopori gerakan protes
ini, namun masyarakatlah sebenarnya yang mendorong mereka dan yang memiliki
keinginan perubahan itu sendiri.
Sementara kadaan selalu berubah dan
menuntut pendekatan lain dalam elakukan berbagai kegiatan. Pemahaman yang berbeda di atas tentu akan
menggeser perubahan idealisme sebagaimana yang sementara ini dipahami oleh
pelbagaikalangan aktifis. Atas dasar pemahaman baru ini, idealisme mahasiswa
menjadi lebih longgar (subjektif) tafsir dan maknanya. Dalam konteks
kemoderenan ini, mahasiswa yang tekun membaca dibeberapa perpustakaan
Universitas misalnya, mereka tidak lagi dijuluki sebagai mahasiswa yang telah
kehilangan idealisme. Karena idealisme mahasiswa berpulang pada role image
yang berbeda-beda.
Sebaliknya,
ketika idealisme mahasiswa dipahami sebagai sikap protes atau sikap oposan,
mutlaknya adalah kekeliruan konsepsional yang amat besar, karena protes seperti
iti tanpa ada kondisi masyarakat yang mendorong serta yang berkepentingan,
tentu hal ini tidak akan mendapatkan respon apapun. Apalagi sebagai peranan
unsur modernisasi, sikap protes atau bersikap
oposan tidak akan pernah mencapai sasaran yang mendasar. Dari sini
menjadi jelas bahwa ketika image mahasiswa yang aktif dan dinamis itu adalah
mahasisa yang berani melancarkan berbagai protes dan melakukan aksi demontrasi
pada hakekatnya pandangan yang seperti itu telah dipengaruhi oleh gejolak
negara Barat pada tahun 60-an.(*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar