Jumat, 20 April 2012

Artikel Lepas (Fenomena Aktifis Mahasisa)


FENOMENA AKTIFIS MAHASISWA
(Antara Peluang dan Tantangan Memasuki Kehidupan Moderenisasi)

H.AKHMAD EFFENDI, SH, MH
PD III BIDANG KEMAHASISWAAN FAK. SYARI’AH
IAIN MATARAM

Dari Jalan Baypas ke jalan infas
            Secara historis kontribusi mahasiswa dalam pembangunan telah diakui oleh beberapa pihak, baik konstribusi berupa materiil maupun mental sprituil. Lebih-lebih dalam konteks sejarah ke Indonesiaan, mahasiswa sebagai katalisator dalam kegiatan pembangunan bangsa. Namun demikian, peran dan keterlibatan mereka dari tahun ke tahun selalu menunjukkan adanya perubahan-perubahan atau strategi yang selalu menyisakanproblem. Perubahan itu terlihat dari visi dan misi gerakan mereka, yang pada awalnya memiliki landasan paradigmatika universal, obyrktif dan  makro yang bergeser ke paradigma parsial, subyektif dan mikro. Dengan kata lain, gerkannya berpijak dari nalar Baypas ke nalar inpas.
            Perubahan sosial akademis dikalangan mahasiswa belakangan ini, dirasakan oleh banyak kalangan telah mmbawa dampak signifikan bagi masyarakat secara umum.Diantara dampak tersebut antara lain adalah unculnya tradisi berpikir yang sangat kritis-tendensius dan anti kemapanan di satu pihak, di pihak lain lahir sikap apatis kepada masyarakat, tidak punya pendirian yang kokoh, mudah terpengaruh oleh lingkungan, tidak memiliki perencanaan yang mateng, kurang berpikir jangka panjang, hilangnya etos keilmuan yang ditandai dengan ndahnya minat baca, berdiskusi dan menulis. Selain itu, prilaku kehidupannya cendrung erotis, hedonis, materialis dan konsumeris.
            Halaqah-halaqah akademis yang dulu banyak diminati oleh para aktifis, kini telah berubah menjadi bersenda gurai demi memenuhi tuntutan biologis. Dulu mahasiswa lulus dari almamaternya hampir dapat dipastikan setidaknya mereka menjadi tokoh dan panutan dipercaya dan dimuliakan oleh masyarakatnya. Namun kini yang terjadi adalah sebaliknya, tidak sedikit dari jumlah lulusan sarjana yang justru menjadi problem dan beban bagi masyarakat sekitarnya, karena fungsinya sebagai subyek telah berubah menjadi obyek.
Aktifis Kontribusinya bagi Masyarakat
            Di era 80-an, masyarakat selalu memandang fositif kepada mahasiswa. Masyarakat menilai mereka sebagai pelaku sejarah yang aktif dan positif. Indikasi ini dapat kita lihat misalnya, hampir seluruh peristiwa penting kebangsaan, mereka senantiasa tampil sebagai pelopornya. Secara umum masyarakat mengakui bahwa mahasiswa adalah sekelompok manusia yang memiliki mental dan fisik yang kokoh, memiliki jiwa kepemimpinan, dedikasi dan ke-aktoran, memiliki tanggungjawab yang kokoh dan disiplin yang tinggi.
            Dengan demikian dapat dikatakan bahwa secara normatif, hakekat mahasiswa adalah satu dari sekian unsur pemuda yang memiliki kecerdasan intlektualitas, sepiritualitas dan emosionalitas. Mereka merupakan bagian yang tak terpisahkan dari masyarakat secara umum. Sebagai generasi bangsa yang tergolong masyarakat terdidik, diantara mereka tidak sedikit yang berhasil menjadi pemimpin-pemimpin negara maupun masyarakat, hingga sukses lebih-lebih mahasiswa yang lahir dari rahim institusi Islam, karena merekalah yang memegang peranan penting dalam aspek pembangunan manusia seutuhnya.
            Mereka tidak hanya diharapkan cerdas dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, lebih dari itu perangkat-perangkat yang substansial sifatnya juga menjadi aspek yang tak kalah pentingnya untuk direspon. Kemampuan untuk memanaj organisasi misalnya, kemampuan mengantisipasi persoalan-persoalan ke depan, kemampuan mengendalikan diri, dan kemampuan memberikan motivasi kepada orang lain.
Tantangan Para Aktifis Mahasiswa.
            Sebagai seorang aktifis yang akrab dijuluki mahasiswa yangnkritis karena keilmuannya dan adaptif  karena sikap sosialnya, betapapun mereka setidaknya mempertahankan identitas itu. Sekalipun disana sini banyak aktifis yang telah mencoreng identitasnya sendiri. Dengan demikian, apakah kiranya saluran yang aspiratif sekaligus produktif bagi sosial intrest mahasiswa di tengah perubahan sosial saat ini? Menampung tanggapan mahasiswa kepada badan  perwakilan rakyat kita adalah sangat relvan kaitannya dengan saluran yang aspiratif itu. Sementara bagi saluran yang produktif tentu dengan mengarahkan mahasiswa untuk sadar  melakukan pengembangan-pengembangan pada wilayah keilmuan, dalam hal ini adalah aktif melakukan kajian-kajian dan peran-peran penelitin.
            Dengan dua upaya penampungan sekaligus penyaluran tersebut, disatu pihak aspek aktifitas perpolitikan mahasiswa dapat teraspirasi secara baik  dan sehat dalam konteks makro, dipihak lain pengembangan nalar kritis dibidang ilmu pengetahuan juga berkembang secara produktif. Dua hal diatas sama-sama penting dengan sam-sama memberikan dampak manfaat secara langsung terhadap masyarakat.
            Penyaluran melalui perwakilan rakyat dimaksudkan agar gagasan-gagasan segar para maha siswa masih sangat parsial dan bersifat personal dapat mengkristal menjadi gagasan-gagasan yang merepresentasi kelembagaan dan keumatan.. Dengan catatan tidak mengganggu stabilitas nasional secara umum. Dari sini telah terlihat jelas bahwa eksistensi mahasiswa sebenarnya berfungsi ganda, yaitu individu dan sosial. Mahasiswa tidak saja aktif studi menghadapi buku-buku teks  tanapa melihat konteks atau makna dibalik teks itu sendiri. Meskipun yang demikian tersebut juga merupakan tugas pokok mahasiswa yang tidak bisa dielakkan.
            Atas dasar inilah mengapa aktifis harus lain dari pada yang lain, artinya mereka secara empiris harus memiliki kualifikasi keilmuan yang mantap dan kecerdasan emosional yang kuat. Pertama, kualifikasi keilmuan, disamping sebagai simbul yang mencirikan mahasiswa, ia juga berperan untuk mengetahui perkembangan-perkembangan keilmuan secara makro yang berpengaruh pada masyarakat secara langsung. Kedua, kecerdasan emosional, yang berpungsi untuk menghadapi dan menentukan sikap, baik sikap sosial, politik, ekonomi maupun sikap-sikap yang lainnya. Kesemuanya membutuhkan pertimbangan-pertimbangan dan keputusan dari kecerdasan emosional.
Mahasiswa: Memasuki Peluang dan Tantangan Modernisasi.
            Ditengah perubahan sosial seperti sekarang ini, disadari atau tidak mahasiswa telah hadir sebagai sub elite bagi masyarkat. Dengan begitu, mereka telah dituntut untuk menjadi bagian penting yang tak terpisahkan ari proses modernisasi ini (egent of modernization ). Langkah pertama mereka menjadi bagian modernisasi ini adalah dengan memunculkan kesdaran yang mendalam bahwa bangsa kita masih banyak mengalami keterbelakangan di berbagai lini kehidupan.
            Modernisasi berarti adanya perubahan menuju ke arah yang lebih baik dan maju. Kenyataan di lapangan, ternyata melakukan perubahan dalam suatu masyarakat tidaklah mudah. Langkah yang terlebih dahulu harus dilakukan adalah memahami sistem sosial budaya secara mendalam. Agaknya terdengar sangat pradoks memang, ketika modernisasi harus mengacu kepada tradisi bangsa lain yang kokoh, yang merupakan sumber motivasi dari setiap langkah suatu tampa dukungasa, sebut saja misalnya, dalam konteks yang sama adalah jepang. Jepang adalah suatu contoh klasik dari modernisasi yang berhasil dengan menggunakan tradisi Shinto yang amat kokoh itu.
            Maka, peranan mahasiswa sebagai modernisator ini tentu memerlukan leteratur sejarah yang kuat. Sebab tidaklah dianggap benar bahwa modernisasi adalah import  teknilogi belaka. Karena bangteknologi yang di import  tampa dukungan sosial yang serasi dan sinergis akan menjadi barang ringsokan yang tampa arti. Oleh sebab itu pembinaan akan akan dukungan sosial inilah salah satulangkah strategis yang dapat diperankan oleh mahasiswa ditengah masyarakat yang relatif masih belum maju.
            Dari uraian diatas, secara spesifik muncul pertanyaan yang cukup mndasar dari kalangan mahasiswa itu sendiri, pertanyaan itu adalah menyangkut role image sebagai apakah mahasiswa membayangkan dirinya ditengah-tengah kehidupan modern ini ? Secara definitif mahasiswa memang terlalu subyektif untuk ditakrifkan. , aTetapi dalam garis besarnya, mereka selalu dibayangi oleh dua kemungkinan yang tidak lepas dari diri mereka sendiri. Pertama. Image sebagai calon intlektual (ilmuan), dan Kedua, Image sebagai calon profesional. Bagi perguruan tinggi yang berbasis religius tentu saja harus ditambah, yaitu sebagai calon agamawan yang spiritualis. Implikasi dari image ini, dalam realitasnya sangat berbeda penerapannya. Image sebagai calon intlektual umumnya banyak dianut oleh para mahasiswa yang lahir dari rahim ilmu-ilmu sosial serta keagamaan yang kegiatannya bermuara pada konsepsi-konsepsi baru. Kecendrungan aktifitas dari image pertama ini adalah dibidang mass media, Literatur maupun organisasi.
 Idealisme dalam Ragam Perspektif.
            Selain tiga role di  atas, yaitu image intlektualisme, profesionalisme dan spiritualisme, ada image lain yang selalu menjadi kebanggaan mereka sebagai seorang mahasiswa, yaitu edialisme. Mereka tidak disebut sebagai aktifis yang sebenarnya ketika mereka tidak memiliki edialisme yang tinggi. Disinilah letak persoalannya bahwa edialisme terlanjur dipahami salah kaprah oleh para aktifis. Idealisme, lagi-lagi semngatnya selalu dikembalikan pada tahun 60-an yang muaranya selalu berjuang pada protes keras mahasiswa kepaa pemerintah Orde Lama. Mereka menjadi oposan mutlak trhadap pemerintah dalam kondisi dan situasi apapun.
            Pemahaman seperti inilah yang lebih dominan dikalangan mahasiswa belakangan ini, skitar 97-an ke atas. Para aktifis yang tidak memiliki tipologi idealisme seperti yang digambarkan di atas, dianggap kehilangan identitasnya. Padahal idealisme dalam perkembangannya akan bersinegi dengan role image yang berbeda-beda. Dengan demikian idealisme juga akan menampakkan karakternya yang berbeda sesuai dengan perkembangan situasinya.
            Memang benar, pada tahun 60-an idealisme mahasiswa dimaknai sebagai sikap yang bersemangat dan berani secara fisik untuk melakukan protes terhadap pemerintah Orla. Hal itu terjadi karena memang kondisinya sangat memungkinkan dan lebih efektif, karena tidak saja dikalangan mahasiswa yang memandang pemerintah Orla buruk, melainkan keadaan masyarakat secara makro juga memandang hal yang sama. Meskipun mahasiswa yang berada di garda depan dalam melopori gerakan protes ini, namun masyarakatlah sebenarnya yang mendorong mereka dan yang memiliki keinginan perubahan itu sendiri.
            Sementara kadaan selalu berubah dan menuntut pendekatan lain dalam elakukan berbagai kegiatan. Pemahaman yang berbeda di atas tentu akan menggeser perubahan idealisme sebagaimana yang sementara ini dipahami oleh pelbagaikalangan aktifis. Atas dasar pemahaman baru ini, idealisme mahasiswa menjadi lebih longgar (subjektif) tafsir dan maknanya. Dalam konteks kemoderenan ini, mahasiswa yang tekun membaca dibeberapa perpustakaan Universitas misalnya, mereka tidak lagi dijuluki sebagai mahasiswa yang telah kehilangan idealisme. Karena idealisme mahasiswa berpulang pada role image yang berbeda-beda.
            Sebaliknya, ketika idealisme mahasiswa dipahami sebagai sikap protes atau sikap oposan, mutlaknya adalah kekeliruan konsepsional yang amat besar, karena protes seperti iti tanpa ada kondisi masyarakat yang mendorong serta yang berkepentingan, tentu hal ini tidak akan mendapatkan respon apapun. Apalagi sebagai peranan unsur modernisasi, sikap protes atau bersikap  oposan tidak akan pernah mencapai sasaran yang mendasar. Dari sini menjadi jelas bahwa ketika image mahasiswa yang aktif dan dinamis itu adalah mahasisa yang berani melancarkan berbagai protes dan melakukan aksi demontrasi pada hakekatnya pandangan yang seperti itu telah dipengaruhi oleh gejolak negara Barat pada tahun 60-an.(*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar