Harta Gono Gini, Mencari Formula
Yang Adil Bagi Perempuan
Sabtu, 21 April 2012, 08.00.
Lebih Dekat dengan Harta Gono GiniPada dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan istri karena perkawinan.1 Harta istri tetap menjadi milik istri dan sebaliknya. Namun, sejak terjadi perkawinan antara perempuan dan laki-laki, maka sejak saat itu tidak menutup kemungkinan telah terjadi suatu percampuran antara kekayaan suami dan kekayaan istri (alghele gemeenschap van goederen). Percampuran ini terjadi jika tidak diadakan perjanjian pemisahan harta bawaan masing-masing. Keadaan ini berlangsung seterusnya dan tak dapat diubah lagi selama perkawinan. Kecuali ada kesepakatan baru antara suami istri. Percam- puran kekayaan ini lebih dikenal dengan harta bersama— bahasa hukum—atau harta gono gini—pandangan atau istilah masyarakat.
Jika mengacu pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI), kita akan menjumpai tiga macam harta benda dalam perkawinan, yakni: harta bersama, harta bawaan, dan harta perolehan. Menurut pasal 35 ayat 1 UUP No.1/74 dan pasal 85 KHI yang dimaksud harta bersama adalah harta benda yang diperoleh selama perkawinan.2 Maksudnya yakni, seluruh harta yang diperoleh sesudah suami istri berada dalam hubungan perkawinan, atas usaha mereka berdua atau usaha salah seorang dari mereka. Harta bersama dikuasai oleh suami dan istri, sehingga suami maupun istri memiliki hak dan kewajiban yang sama untuk memperlakukan harta mereka dengan persetujuan kedua belah pihak.3
Jadi, sekalipun harta bersama ini diperoleh dari kerja suami saja, bukan berarti istri tidak memiliki hak atas harta bersama. Baik istri maupun suami sama-sama memiliki hak dan kewajiban yang sama. Suami atau istri tanpa persetujuan pihak lain tidak diperbolehkan menjual atau memindahkan harta bersama.4 Harta bersama ini dapat berupa benda berwujud, benda tidak berwujud (hak dan kewajiban), benda bergerak, benda tidak bergerak, dan surat-surat berharga.5
Sedangkan yang tidak termasuk harta bersama yakni harta bawaan dan harta perolehan. Yang dimaksud harta bawaan adalah harta masing-masing suami dan istri6 yang dimiliki oleh masing-masing sebelum terjadinya perkawinan, termasuk yang diperoleh sebagai hadiah atau warisan. Harta ini di bawah penguasaan masing-masing atau menjadi hak milik yang tidak dapat dipindahtangankan.
Dan terakhir, harta perolehan, yakni harta masing- masing suami istri yang dimilikinya sesudah mereka berada dalam hubungan perkawinan. Harta ini diperoleh bukan dari usaha mereka, melainkan dari hibah, wasiat, sedekah, atau warisan masing-masing. Penguasaan atas harta ini sama seperti harta bawaan. Dikecualikan jika ada kesepakatan dalam perjanjian perkawinan misalnya : suami istri menjadikan harta perolehan ini sebagai harta bersama.7
Percampuran kekayaan adalah mengenai seluruh activa dan passiva. Percampuran ini bisa mencakup harta bawaan dan/atau harta perolehan ke dalam perkawinan8 yang akhirnya menjadi harta bersama. Kekayaan bersama itu oleh undang-undang dinamakan “gemeen- schap.”
Sesungguhnya percampuran kekayaan ini bukanlah masalah selama menjadi kesepakatan antara suami istri. Biasanya sengketa harta bersama ini akan timbul jika terjadi perselisihan antara suami istri atau perceraian. Terlebih bila tidak ada perjanjian pemisahan harta dalam perkawinan. Kadangkala, masing-masing pihak mengklaim atas harta bersama menjadi harta bawaan atau harta perolehan. Atau, pihak istri dirugikan dan mengalami ‘’ketidakadilan’’ dalam pembagian harta bersama berdasarkan putusan pengadilan. Inilah cikal bakal terjadinya perselisihan harta bersama atau harta gono gini.
Ketidakadilan ini sangat terkait dengan perspektif suami kepala keluarga dan istri ibu rumah tangga. Yang dibakukan dalam UUP 1/1974 pasal 31 ayat 3 dan KHI pasal 79 ayat 1. Kedua hukum ini sekaligus mempo- sisikan istri hanya sebatas pengelola rumah tangga (domestik) sebaik-baiknya. Sehingga, banyak istri yang secara ekonomi sangat bergantung pada suami dan tidak memiliki penghasilan apa pun.
Ketidakadilan lainnya yang sering terjadi adalah beban ganda. Hal ini terjadi pada saat istri bekerja di luar rumah sebagai pencari nafkah, bahkan pencari nafkah utama, juga dibebani pekerjaan domestik. Biasanya para suami menarik diri untuk membantu pekerjaan rumah tangga karena menganggapnya sebagai kewajiban mutlak istri. Padahal pekerjaan rumah tangga adalah tanggung jawab bersama yang bisa dibagi dan dipertukarkan karena hal itu merupakan bentukan budaya belaka.
Dengan begitu, merupakan hal yang tidak adil bagi istri, jika aturan pembagian harta hanya sebatas separuh dari harta bersama. Karena tidak sedikit istri yang berkontribusi lebih besar dari suami. Dan, yang lebih tidak adil adalah jika istri mendapat harta lebih kecil dari suami bahkan tidak mendapatkan sama sekali karena dianggap tidak memiliki kontribusi apa pun dalam mengumpulkan harta bersama.
Koleksi perpustakaan kami mulai buku Teks, Kitab kuning,
Skripsi, Tesis, Disertasi, Foto, Kliping, CD-ROM, CD, VCD dan DVD.
Alamat : Jl. Raya Merembu
Barat Kec. Labuapi Lobar NTB.
Kirim email ke ahmad_raehan@yahoo.com atau telp. ke 0817368859. kita kongsi Ilmu sebagai orang
akademisi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar